Saturday, October 14, 2017

Manajemen Rasa

Kalau di al ma'tsurat kan ada ya kata Tirmidzi, kalau kita berkata, "radhitu billahi rabba, wa bil islami diinaa, wa bimuhammadin nabiyyan wa rasuulaa" , wajib baginya surga. Gimana bisa ya orang yang baca gitu jelas bakal akan clearly undoubtly get into jannah.

Jannah itu sebelum di akhirat nanti, sebelum jadi hasil ketok palu terakhir, kalau kita memang akan akan menghuni surga, at least kita bakal nyicipin dikit di dunia, yaitu rasa bahagia, tenang, dan nyaman. Kalau kita lihat dari radhiitu, berarti aku ridha. Ridha itu menerima dengan sabar nahan yang ngga enak-enak jika dirasa sulit dan berat dan bersyukur dengan segala apapun bentuk rizki yang kita dapat. Pada akhirnya, hidup ini tidak ada yang kita lakukan. Cukup menerima saja. Kalau udah bisa menerima, maka ketika kita ketemu sama semua yang nggak nyenengin, "rasa"nya akan jadi biasa aja.

Tadi kan radhiitu billahi rabba. Aku ridha Allah sebagai Rabb. Rabb itu berarti Allah sebagai pencipta, pemberi rizqi, dan pengatur segala-galanya dari mikro sama makro. Konsekuensi kita kenal Allah sebagai rabb ini yang bikin kita jadi ridha.

Kadang kita suka mempersempit makna rizqi dengan uang, padahal bisa jadi rizqi itu dengan bus damri yang datang lebih on time, angkot yang segera berangkat, nasi kotak dari tetangga, dll yg kadang bikin kita lebih fokus ke "ya ampun orang ini baik banget ya" daripada terbersit dalam hati "ini rizqi untukku hari ini dari Allah yang Maha Baik".

Kadang juga kita exaggerate, lebay, me"rasa" yang paling menderita sedunia ketika misalkan uang bulanan menipis. Padahal kalau kita kenal Allah sbg pemberi rizqi, kita akan lebih merasa tenang karena tawakal, yakin bergantung pada Allah yang kalau bukan Dia yang mencukupkan rizqi kita, apalagi kita kan makhluk ciptaanNya yg pasti akan Dia pelihara,  kita ga akan survive sedetik aja di dunia ini.

Kadang kita jg lupa kalau anak, jodoh, kerjaan, studi ke luar negeri, angkot yang ngetem kelamaan, kecelakaan motor, hp hilang, laptop rusak, gagal pulang kantor on time (eh), dan semua hal yg nggak sesuai keinginan kita  itu semua bagian dari pengaturan Allah. Kalau Allah udah ngatur gitu yaudah diterima saja sambil senyum. Dan kalau kita sadar itu semua merupakan bagian dari pengaturan Allah, kita akan lebih merasa tenang untuk menerima, dan siap untuk the next step of ikhtiar.  Kalau kata Alhikam, Allah memberikan kesempitan agar kita tidak terikat oleh kelapangan. Dan Allah memberikan kelapangan agar tidak terikat oleh kesempitan. Agar kita hanya terikat pada Allah. Agar bagaimana kita merasa, dibalikin lagi semuanya ke Allah. Karena kalau kita fokus ke sakitnya aja, akan jelas terasa sakit (titik fokus lensa kan cuma satu, abaikan, plakkk). Kalau kita sudah bisa masuk ke tahap memahami Allah sebagai Rabb tadi, maka kita juga akan lebih memahami bagaimana harus bersikap dan merasa.

Karena sesungguhnya ridha, rela itu diawali dengan ma'rifatullah, dari kenal dulu, paham dulu Allah itu apa, mauNya gimana. Semakin kenal dengan Allah, semakin dekat kita dengan Allah, maka kita akan semakin mudah memanage rasa apa yang harus atau ngga harus kita umbar. Semakin kenal Allah sang rabb,  rasa nya akan semakin lapang dan bahagia dengan apapun itu yang terjadi.

Kalau segala sesuatunya di"rasa" membahagiakan apalagi itu kalau bukan surga?

Wa bassyiril mu'miniin.

Semoga selalu berbahagia dengan iman di dada 😇

(Wallahu a'lam. Terbuka untuk segala koreksi. Kebenaran dari Allah, kesalahan dari saya)

2 comments:

  1. Makasih banyak kak ranti udah nulis ini, hehe. Salam kangen :")

    ReplyDelete