Jdug. Plak ! Sebuah bola mendarat dengan keras tepat di kepala cewek hitam manis yang sangat kurus, namanya Rena. “Aduuuh”, Rena meringis sambil mengelus-ngelus kepalanya.
Belum hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba dia dikagetkan lagi dengan suara bentakan dari tengah lapangan. “Woy Eyang! Lihat ke mana sih ? “ ,
Huff. Rena menarik nafas lega. Dia segera mengemasi barangnya. Bukannya dia merasa lega karena latihan sudah selesai dan dia kelelahan, tapi Rena merasa lega karena akhirnya dia terbebas dari rasa salah tingkah. Salah tingkah yang baru muncul akhir-akhir ini. Rena sendiri masih tidak mengerti bagaimana Juniko, teman main bolanya sejak pertama kali dia menjadi murid SMA, bisa membuatnya salah tingkah sekarang. Padahal dulu Juniko dan Rena sangat dekat, sering menghabiskan waktu bersama dengan tingkah mereka berdua yang sama-sama gila. Entah mencuri-curi waktu bermain bola ketika jam pelajaran, pulang sekolah bersama naek sepeda kumbang mereka … Ah ! Sekarang gara-gara salah tingkah yang baru muncul sekarang, Rena merasa tidak begitu nyaman lagi bila terlalu dekat dengan Juniko sekarang. Sama seperti tadi ketika mereka berlatih dan bermain bersama di halaman. Ketika itu, posisi Juniko sudah terlalu dekat dengan Rena. Juniko sedang menghalangi Rena menerima operan dari
“Heh Eyang! Ngapain sih kamu? Jadi pulang sama bareng nggak ??”, tiba-tiba sudah ada cewek dengan rambut hitam lebat yang dikuncir satu mengagetkan Rena dari belakang. Rena sontak terhentak, “Gila kamu Nesh! Ngagetin ja deh”. “Yee, kamu tuh yang gila. Geleng-geleng nggak jelas. Dah ah, cabut yuk. Dah sore banget ini”, keluh Nesha, sahabat Rena satu-satunya yang ikut bergabung dengannya di ekstrakurikuler futsal cewek. “Iya bentar, dikit lagi beres”, kata Rena sambil terburu-buru memasukkan handuk, botol minum, kaos, dan celananya dengan asal-asalan ke dalam tas Nike aspal kesayangannya. “Buruan deh Eyang”, Nesha langsung menggamit tangan Rena dengan tak sabar. “Eh eh, iya iya, tapi jangan tarik-tarik napa”, kata Rena dengan kesal.
Di sisi lain bangku penonton, Juniko menatap pertengkaran kecil antara dua cewek tadi yang berakhir dengan canda tawa sampai sampai keduanya keluar dari gedung olahraga. Dia masih bisa melihat Rena tertawa dengan lepas tadi. Tawa yang dulu selalu menemani hari-harinya di awal dia mulai menjadi murid SMA. Dia juga masih ingat tadi ketika dia menghampiri Rena sebelum latihan. “Nanti pulang bareng
*****
“Basi deh kamu Ren. Kalo emang kamu suka ama Juniko nggak pake menjauh gitu kali”, kata Nesha yang ada di depan Rena. Sekarang ini Nesha sedang membonceng Rena pulang dengan skuter matiknya. Rena terhenyak, “Siapa juga sih yang suka ama Juniko…”.
“Yaelah, kelihatan banget kali Ren”, potong Nesha.
“Ih, dia itu sahabat aku, jadi nggak mungkin aku suka dia”, kata Rena.
“Eyang jangan mulai ngeyel deh. Kamu sekarang deg-degan kan kalo ketemu dia? ”, Tanya Nesha.
“Iya sih… “, kata Rena pelan.
“Nah! Jelas kamu suka dia”, kata Nesha dengan penuh kemenangan.
“Tapi aku nggak nyaman ama perasaanku ini Nesh. Semua konsentrasiku buyar kalau ada dia. Iya kalau ketemu dia waktu lagi nggak ada latihan. Dia kan selalu dateng kalau ada latihan. Masa iya aku nyuru dia pulang”, kata Rena.
“Makanya Eyang, jangan menjauh gitu. Pake bohong terus. Aku kena imbasnya juga tahu”, gerutu Nesha
“Iya sori Nesh. Tapi aku harus gimana dong?” kata Rena setengah merengek. “Dua minggu lagi kita tanding pula. Kalo selama latihan gini terus bisa kacau tim futsal kita”. “Gampang Ren. Masalah gini aja kamu ribet banget. Cuma ada satu solusi buat masalah kamu sekarang.”, kata Nesha enteng. Muka Rena langsung berubah cerah. “Apaan solusinya Nesh ?” , Tanya Rena. “Jujur, bilang suka ma dia. Beres.”, jawab Nesha singkat dan padat. “Hah? Gila ah! Ogah”, tolak Rena mentah-mentah. “Kamu ma terus salah tingkah gini ?” , tanya Nesha. “Ya enggak Nesh. Tapi.. “, ujar Rena bimbang. “Itu satu-satunya cara Ren kalo kamu mau nggak salting mulu.”, kata Nesha.
“Nah, sampe”, kata Nesha begitu sampai di depan rumah Nesha.
“Thanks ya Nesh”, kata Rena sambil turun dari matik Nesha. “Eh, besok aku ngga jadi bareng kamu ya berangkat sekolahnya”, sambung Rena.
Nesha tersenyum lebar. Dia mengacungkan jempol dan langsung menggas skuter matiknya meninggalkan rumah Rena.
“Aku pulang!”, seru Rena keras di depan pintu rumahnya. Dilihatnya Bunda sedang sibuk di dapur dan Ayah tenggelam bersama perkakas perkakas pertaniannya.
“Kok tumben sih sendirian pulangnya?” , tiba-tiba Roni muncul dari pintu dapur mengagetkan Rena. “Ah, rese deh tiba-tiba ngagetin gitu”, kata Rena cemberut. “Tadi bareng Nesha tahu”. “Ohh.. “, kata Roni dengan
Bunda yang mendengar suara rebut-ribut mendatangi kamar Rena dengan cemas. Mungkin dikiranya baru saja terjadi Perang Dunia ketiga. Tapi dilihatnya hanya ada Roni yang cengar-cengir di depan pintu kamar putrid bungsunya itu. Mengerti dengan apa yang telah terjadi, Bunda tergopoh-gopoh langsung menghampiri Roni. Roni langsung tersenyum manis dan menjauh dari pintu kamar Rena melihat bundanya datang, “Eh Bunda…”. “Kakak ngejahilin Adek lagi ya ?” Tanya Bunda telak. “Iya Bunda, marahin tuh kak Roni!” teriak Rena dari dalam kamarnya. “Adek juga jangan teriak-teriak”, kata Bunda tak sabar. “Udah sana bantuin Ayah aja sortir benih. ”, kata Bunda yang tidak habis pikir kenapa Roni ini tidak pernah bisa berhenti menggoda adiknya. “Siap Bun!”, kata Roni dengan
Keluarga Rena bukanlah keluarga yang berkecukupan, tapi bukan juga keluarga yang terlalu papa. Pekerjaan Ayah Rena sebagai petani kecil dan ibunya yang hanya sebagai ibu rumah tangga membuat Rena dan kakaknya Roni tumbuh menjadi anak yang mandiri. Roni sekarang sudah kuliah dengan beasiswa penuh berkat prestasinya di bidang fisika. Rena yang selalu diceramahi Roni, dengan gaya sok tahunya yang selalu bikin Rena enggak juga sebal setengah mati tapi juga menjadi menyayanginya , juga bertekad agar dapat menjadi seperti kakaknya yang bisa sekolah tapi tidak memberatkan beban orangtua mereka. Hal ini yang membuat Rena menjadi seorang cewek yang tangguh dan tegar.
Saking tangguhnya, sampai tim futsal sekolah memasukkannya menjadi anggota andalan dalam tim. Rena yang sering menjuarai lomba lari dan tenis meja di tingkat nasional tidak pernah menyangka akan bisa menyukai sepakbola seperti sekarang ini. Juniko lah yang mengenalkan sepakbola padanya pertama kali. Rena yang ketahanan fisiknya memang kuat, dengan tidak membutuhkan waktu yang lama, sudah bisa menjadi atlet futsal cewek yang tangguh. Sampai akhirnya sekarang ini bergabung di tim futsal sekolah dan ikut beraksi dalam berbagai liga pertandingan antar sekolah.
Tapi tidak setangguh saat ini.
Rena sekarang termenung di kamarnya. Dia memikirkan ucapan Nesha tadi sewaktu pulang, juga ucapan kakaknya yang secara nggak langsung juga mendukung ucapan Nesha.
Juniko.
Cowok itu sekarang populer banget setelah menjadi kapten tim futsal, pikir Rena sambil merengut. Dan setelah populer, tiba-tiba saja Rena dikejutkan dengan membludaknya cewek yang menjadi penggemar Juniko.
Padahal Rena sudah mulai menyimpan rasa sejak pertama kali dia bertemu Juniko di tengah jalan pada hari pertama mereka berangkat sekolah. Rena sebenarnya nyaman dengan pertemanan mereka. Karena tidak ada satupun cewek di sekolah yang melirik Juniko karena wajah Juniko emang enggak cakep-cakep amat, pikir Rena sambil tertawa kecil. Tapi sekarang ini, setelah penggemar Juniko lebih sering mengerumuni Juniko, semua rasanya menjadi berubah menurut Rena.
Apa dia memang harus bilang suka kepada Juniko ? Tapi pasti memalukan banget kalo dia ngelakuin itu. Lagipula buat apa dia bilang suka segala?. Rena merasa kepalanya pusing memikirkan Juniko sekarang ini.
Tapi kalau dia nggak jujur, dia nggak akan pernah bisa tenang dan konsentrasi ketika latihan. Dan itu bisa berakibat tim sekolah dia terancam kalah di pertandingan 2 minggu lagi. Kalau tim sekolah dia kalah, dia akan ketinggalan satu langkah dalam mengejar beasiswa yang dia cita-citakan. Lagipula, dia kan cuma mau bilang suka aja. Dan itu adalah pernyataan yang tidak memerlukan jawaban dari Juniko.
Malam itu, Rena sudah memutuskan apa yang harus dilakukannya besok.
No comments:
Post a Comment